Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puan Tak Malang (9)

 

Gambar : freepik.com dan edit mandiri

Hari-hari di rumah (2)

 Dua hari di rumah membuat Ana semakin tidak kerasan untuk lama-lama. Bapak dan Ibunya membebaskan jika ingin cepat kembali di Malang, tapi bapaknya mau berbcara dengan Pak Harun atau Mb Rahmah sebelum Ana dan Alya kembali ke Asrama.


“An, kalau kamu mau kembali ke Malang, Bapak dan Ibu menyilahkan. Siapa tahu kamu tidak nyaman dengan masalah-masalah ini. Bapak dan Ibu membebaskanmu untuk masa depanmu, tapi bisakah aku kamu telfonkan Pak Harun atau Mb Rahmah?”, tanya Bapak.


“Iya pak, bisa. Tapi ada apa?”, jawab Ana.

Bapaknya ingin mengobrol untuk masa depan Ana karena beliau takut jika buleknya masih banyak mengintervensi.


Ana memberikan handponenya kepada bapaknya, Pak Harun sudah  menjawab. Bapak berbincang-bincang dengan Pak Harun lama, mereka hanya mendengarkan pembicaraan mereka. Ana hanya bisa meneteskan air mata dikit demi sedikit karena bapaknya sudah sangat kecewa dengan buleknya. Bapakna bilang ke Pak Harun untuk sering memotivasi kelanjutan belajarnya nanti, kalau bisa titip dicarikan calon suami orang Malang atau mana yang penting tidak kembali pulang ke desa.


Bapak sudah memikirkan ini sejak lama, karena takut buleknya masih mengintervensi dengan kelanjutan hidupnya.

___

Di hari ketiga di rumah, Ana keluar dengan Alya. Mereka mau bersilaturrahim dengan Bu Lisa. Ana membawakan beras, singkong dan sayur mayur. Mereka sampai rumah Bu Lisa, ternyata beliau ada di depan rumah. Bu lisa sudah menyiapkan beberapa hidangan.

“wah ada mahasiswa Malang ini.”, sapa Bu Lisa.

“wah jangan gitu bu.”, jawab Ana dengan berjabat tangan dengan Bu Lisa.

“siapa ini An?”, tanya Bu Lisa.

“Ini temanku di Malang Bu.”, Jawab Ana.

“masuk An, Mb Alya.”, ucap Bu Lisa.


Bu Lisa menanyakan banyak hal tentang perkuliahan Ana di UMM Malang. Ana juga bercerita kalau selama di Asrama dia berkesempatan belajar banyak hal, seperti yang baru saja diikutinya di Batu. Pelatihan menjadi trainer, kesempatan itu diberikan Pak Harun dan Mb Rahmah secara cua-Cuma kepadanya dan teman-teman. Tidak lama berselang, Nanda dan Arif menyusul mereke ke rumah Bu Lisa. Mereka memang janjian untuk mengunjungi Bu Lisa secepatnya di masa libur. Mereka juga berkeinginan untuk berkunjung ke rumah Pak Ahmad tapi beliau sedang umrah sekeluarga saat ini.


Bu lisa hanya menawarkan untuk silaturrahim bersama nanti jika Pak Ahmad sudah datang dari Umrah. Mereka saling bercerita tentang pengalaman demi pengalaman yang mereka lalui selama 6 bulan di Malang. Mereka tidak lupa berterima kasih karena Bu Lisa sudah mengusahakan mereka untuk mendapatkan yang terbaik saat kelulusan sekolah. Ana juga bercerita jika Arif menjadi salah satu peserta terbaik di acara pelatihan akhir desember lalu.


“ayo dimakan, apa adanya saja ini.”, Bu Lisa mencoba menawarkan makanan yang sudah dihidangkan sejak Ana belum datang.

 

Hari-hari di rumah (3)

 Pertemuan di rumah Bu Lisa cukup lama sampai waktu dhuhur. Ana mengajak Nanda dan Arif jalan-jalan di Paciran agar Alya tahu tempat-tempat indah disini. Keduanya menyetujui, mereka berangkat ke Paciran. Destinasi yang dipilih adalah tepi Pantai dekat WBL, mereka sekedar nongkrong. Mereka ingin mengenalkan Alya beberapa tempat yang biasa dikunjungi orang-orang dari luar Lamongan.


Dalam benak hati Ana, dia ingin mengajak Alya ke WBL tapi uangnya tidak cukup masih ada keperluan lain yang harus dipenuhi. Mereka memesan bakso dan rujak.


“enak ya An, dekat laut bisa jalan-jalan kesini kalau suntuk. Rumah kalian nggak jauh kan dari sini?”, tanya Alya.

“enggak kok, yang lumayan jauh ya rumah nanda.”, jawab Ana.

“gimana kalau besok kalian main ke rumahku?”, tanya Arif.

“Boleh juga, biar lya tahu rumah kalian juga.”, jawab Ana.

“kalau mau kita bakar-bakar ikan, aku niatnya ngundang beberapa teman pondok juga biar jadi ajang kumpul-kupul sama mereka.”, jawab Arif.

“boleh juga itu Rif.”, tambah Nanda.

“mumpung lagi panen ikan di desaku, aku nggak punya tambak luas sih, tapi InsyaAllah ada beberapa ikan yang sudah layak dimakan.”, jawab Arif.

“apa nggak merepotkan orang tuamu Rif?”, tanya Alya.

“Enggak kok Al, santai saja. Bapak dan Ibu malah menyuruh ngajak kalian ke rumah sekedar makan-makan. Mumpung keempatnya ada di Lamongan gitu.”, jawab Arif.

“wah asyik nih.”, jawab Ana.

“Iya An, lumayan kan daripada kamu di rumah.”, tambah Alya.

Arif sengaja dengar, “lah kan memang libur jadi kan harus di rumah.”, tambah Arif.

“iya bener kok rif.”, tambah Ana dengan senyum dan menyembunyikan masalahnya. Sebenarna dia pengen cerita ke Nanda dan Arif karena mereka sering bersama agar tidak kaget kalau suatu hari tahu dengan kondisi keluarganya tapi tidak hari ini.

“Oh ya, semalam aku ditelfon sama Pak Harun, katanya kamu pengen balik segera ya An?”, tanya Arrif.

“Iya Rif, bungung di rumah mau ngapain.”, ucap Ana.

“kan 6 bulan kita nggak pulang, bisa bantu-bantu orang tua gitu. Tapi kata Pak Harun orang tuamu yang meminta kamu kembali.”, ucap Arif.

“kamu dikasih tahu apa lagi selain itu?”, tanya Ana.

“eeeeeem, ada sih tapi apa yang lain sudah tahu?”, tanya Arif.

Nanda menunjukkan wajah bingung dengan pembicaraan mereka, “kalian ngomongin apa sih?”, tanyanya.


“eeem, okelah kayakna sekarang aja aku cerita ya. Alya sudah tahu tentang ini.”, tambah Ana.

Mereka bertiga serius mau mendengarkan Ana berbicara, Ana bercerita dari satu masalah ke masalah lain yang mengundang banyak tanya antara Arif dan Nanda. Ana bercerita hampir setengah jam tapi tidak usai. Nanda dan Arif semakin terharu dengan nasib Ana yang begitu, ternyata dibalik semua usahanya selama ini karena menutupi masalah-masalah keluarganya.


Bersenang dengan Geng Asrama

Usai berkunjung dan jalan-jalan kemarin, mereka bersepakat untuk main ke rumah Arif. Siang ini mereka sudah di tambak punya Arif. Tambaknya memang tidak besar, hanya sepetak kecil yang tidak seukuran tambak-tambak sampingnya. Orang tuanya mengelolanya sendiri untuk menyekolahkan Arif dan memenuhi kebutuhan mereka.


Ibu dan Bapaknya Arif ada bersama mereka di Tambak, Ibunya menyiapkan bumbu sebagai pelengkap ikan bakar. Arif, Nanda dan Bapaknya memancing ikan. Mereka sudah mendapatkan 6 Ikan yang dirasa sudah cukup karena beberapa teman pondok tidak jadi datang karena ada urusan lain.


“Ayo nak, dibakar dienak-enakkan saja. Habis ini Ibu dan Bapak balik dulu ya soalnya mau ke rumah saudara bapak yang ada hajat.”, ucap Ibu Arif.

“ow enggeh bu, terima kasih sudah disiapkan.”, jawab Alya.

“wah anggap saja ini sebagai pendekat silaturrahim kami.”, tambah Ibu Arif.

Bapak dan Ibu Arif pergi meninggalkan mereka, tidak lama ada dua tetangga Arif yang ikut bersama. Ikan yang sudah matang, mereka nikmati bersama di tepi tambak. Makan-makan usai, Arif mengajak mereka balik ke rumah untuk menunaikan shalat Dhuhur. Ana dan Alya ketetapatan tidak shalat karena halangan, mereka memutuskan ikut untuk membereskan beberapa barang dan kembali pulang. Arif menyilahkan, sedangkan Nanda akan tetap di rumah Arif sampai sore karena mau mengerjakan bahan lomba bersama.


Ana rupanya iri dengan semangat mereka berdua yang sudah jauh di depannya, keduanya sudah menawari Ana untuk ikut tapi tidak ada tabungan yang cukup untuk ikut lomba.


Ana pulang ke rumah, kebetulan saat pulang melewati rumah buleknya, Ana lupa kalau melewati rumah itu dan dia sangat pelan mengendarainya. Mas angga yang sudah berdiri di depan rumah spontan memanggilnya dengan keras, rasanya mau terus saja tapi tidak enak dengan tetangga yang ada disitu.


“ada apa mas?”, tanya Ana.

“kamu sampai kapan di rumah?”, tanya Mas Angga.

“belum tahu mas, ada apa?”, tanya Ana.

“tanya saja sih, kenapa nggak pernah main kesini?”, tanya Mas Angga.

“lah memang aku gak pernah kesini juga kan, mau apa juga aku ke sini?”, jawab dan tanya ulang Ana dengan ketus.

“ya apa salahnya main ke rumah bulekmu sendiri?”, tanya Mas Angga.

“kalau tidak ada yang penting aku pulang saja.”, jawab Ana.

“ini luh aku mau meenanyakan ke kamu. Masmu sekarang dimana? Memangnya jadi ke Malaysia?”, tanya Mas Angga.

“aku nggak tahu tanya saja sendiri.”, jawab Ana.


Ana melanjutkan perjalanan pulang dengan Alya, meninggalkan Mas Angga, sepeupunya. Kakaknya dengan Mas Angga memang tidak pernah akur, karena mereka selalu saingan sejak Sekolah Dasar. Sekarang Mas Angga sudah jadi Pegawai Negeri Sipil di SMP Negeri 1 Lamongan tapi tetep saja iri dengan kakak Ana yang secara pendidikan berbeda. Kakaknya, Arya berjuang kesana kemari untuk menyelesaikan kuliahnya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Kakaknya memang mendapat beasiswa untuk kuliah tapi tetap mencari tambahan untuk kebutuhan sehari-hari sendiri dengan mengajar les, jualan, ikut lomba dan lain sebagainya.


Mas angga berbeda, dia aman-aman saja, tapi ternyata yang dipakai uang tabungan bapak yang dititipkan ke Bulek dulu tapi bulek tidak jujur dengan itu. Ada satu masalah lagi sebenarnya yang membuat Mas Angga tidak pernah suka, Mas Angga suka dengan Mb Khaulah anak kepala desa, sedangkan Mb Khaulah sendiri suka dengan kakak. Bulek dan paklek sudah pernah meminta Mb Khaulah menjadi menantu ke Pak Kades tapi beliau membebaskan anaknya mau dengan siapa. Mb Khaulah ternyata memilih kakaknya Ana.


Masalah ini yang menambah kerunyaman, Mas Arya sebenarnya memang suka juga dengan Mb Khaulah karena sejak kuliah di Surabaya sering bertemu karena satu tempat belajar hanya saja berbeda jurusan. Mas Arya ada di jurusan Teknik Informatika sedangkan Mb Khaulah di jurusan Kimia.


Pak kades sudah pernah menanyakan ke Pak de terkait ini, tapi kakak masih ingin mengejar S2 di Malaysia. Akhirnya Pak Kades membuat kesepakatan yang biasa-biasa saja, jika nanti keduanya siap dan belum ada calon keduanya, Pak Kades masih sangat mau melanjutkan. Jika salah satunya di perjalanan menemukan yang terbaik ya tidak masalah. Mas Arya sendiri tidak ingin memberikan harapan karena takut ada sesuatu yang terjadi di perjalanan.


Satu tahun setelah kelulusan, Mb Khaulah melanjutkan studinya di ITS lagi. Mas Arya memutuskan ke Pare untuk memantapkan IELTS dan TOEFL disana, dengan mencari tempat kerja sampingan disana.


Ini yang menjadikan Mas Angga, bulek dan Paklek semakin murka karena anak satu-satunya belum bisa mendapatkan anak Pak Kades. Mb Khaulah sendiri sudah siap menunggu Mas Arya siap.


Tamat...

 

 


2 komentar untuk "Puan Tak Malang (9)"