Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puan Tak Malang (8)

 

Gambar : freepik.com dan edit mandiri

Perbincangan Malam

Pelatihan usai 3 hari lalu, masih banyak sesuatu yang sangat terkesan dengan acara, panitia dan materi-materinya. Kepulangan mereka dari pelatihan, membuat Pak Harun ingin mengajak mereka berbincang ringan dengan hasil program yang sudah disampaikan. Malam itu Pak Harun mengumpulkan mereka di ruang tamu rumah beliau, Mb Rahmah tidak ikut bersama mereka karena pusing dan masih sering mual, hingga mengambil cuti kerja dua pekan ini.


Pak Harun memesan makanan hangat seperti terang bulan dan martabak,

“wah Pak Harun kok nggak bilang saja sama saya tadi, biar kami yang belikan tidak perlu grabfood?.”, tanya Arif.


“santai saja,ini hadiah yang tidak bernilai buat kalian yang sudah menuntaskan pelatihan selama sepekan kemarin.”, jawab Pak Harun.


Beliau memulai perbincangan santai mereka malam itu, Pak Harun mengawali dengan banyak-banyak terima kasih, ucapan selamat kepada Arif yang menjadi peserta terbaik diantara lima peserta lainnya.


Pak Harun sudah menerima progres laporan dari Mb Aisyah, karena mereka berteman sejak mengikuti pelatihan semacam ini hampir 10-13 tahun lalu di Lombok. Mb Aisyah juga masih ada hubungan keluarga dengannya meskipun jauh, jadi mereka sudah seperti saudara sendiri. Mb Aisyah memberikan gambaran sederhana program mereka, karena bahasa mereka masih kurang realistis. Mereka berempat senyu-senyum dan meminta maaf kepada Pak Harun. Beliau tidak mempermasalahkan itu, tapi kebahagiannya adalah mengikutkan mereka pelatihan dan bahagia itu sebuah hadiah di tengah-tengah kondisi mahasiswa yang hedonis dan pragmatis. Beliau ingin membekali mereka sedini mungkin.


Perbincangan selesai, Pak Harun menjelaskan beberapa timeline untuk melaksanakan program yang sudah mereka perbaiki dengan Pak Harun. Beliau memberikan jatah libur semester yang mereka dapat dari kampus kurang lebih 2,5-3 bulan, akan tetapi mereka dikasih waktu libur satu bulan saja.


“kalau satu bulan apa ndak kelamaan ya pak? Kan eman kalau tidak ada pembelajaran?”, tanya Ana.

“yang lain bagaimana?”, tanya Pak Harun kepada mereka berempat.

“iya, saya juga mikir gitu pak. Ya sebenarnaya juga enak-enak saja kalau libur lama. Tapi eman waktu.”, tambah Nanda.

“kamu bagaimana Rif?”, tanya Pak Harun kepada Arif yang terlihat merenung.

“Oh Ya, Pak. Saya setuju dengan Ana. Toh kita disini bapak bantu segala hal. Eman rasanya kalau libur sebulan.”, tambah Arif.

“Alya?”, tanya Pak Harun.

“saya manut saja pak. Toh pulang juga jauh.”, jawab Alya.

“Oke, sebenarnya saya memberikan waktu 1 bulan itu karena ini liburan pertama kalian, mungkin kalian mau menikmati waktu yang lebih lama di rumah setelah 6 bulan tidak pulang. Jadi, mungkin 2 pekan saja cukup?”, jelas dan tanya Pak Harun.


Mereka setuju dengan itu, Alya akan ikut berlibur dengan Ana karena jarak tempuh yang jauh. Kebetulan bapak dan ibunya juga merantau bekerja di Bandung mulai bulan Januari ini. Pak Harun menawarkan kepada mereka untuk mengantar ke Lamongan Ahad besok, awalnya mereka menolak karena takut merepotkan, akan tetapi beliau sedikit memaksa dengan alasan ingin silaturrahim dengan keluarga-keluarga mereka.


Betapa senangnya mereka yang mendapat hadiah berlipat-lipat dari Pak Harun, beliau memang dosen di kampus tapi tidak pernah memperlakukan mereka seperti mahasiswa tapi selayakna teman dan anak. Alhamdulillahnya mereka sudah dikasih rezeki oleh Allah dengan kehamilan Mb Rahmah yang sudah memasuki usia 1 bulan. Mereka hanya mendokana untuk kebaikan keluarag ini.


Liburan menjadi Mahasiswa Pertama

Pagi itu mereka bersiap untuk berlibur dua pekan di Lamongan. Ana sangat berbahagia karena sudah 6 bulan di Malang. Dia sudah sangat rindu dengan kampung halamannya yang di pelosok ini. Mereka sudah menyiapkan sejak malam hari, agar pagi setelah shubuh sudah mulai perjalanan. Pak Harun sengaja mengosongkan hari ahad ini untuk silaturrahim dengan keluarga mereka.

“sudah siap semua?”, tanya Pak Harun

“sudah pak.”, jawab mereka serentak

Mb Rahmah juga ikut ke Lamongan bersama mereka, karena ingin pulang juga. Rumah Mb Rahmah tidak jauh dari rumah Arif.


“Bismillahirrahmanirrahim.”, baca Pak Harun sebelum memulai menyetir. Mobil beliau muat untuk mereka berenam, karena mobil Pak Harun termasuk pada deretan mobil mewah. Menyusuri jalanan yang masih sepi, Pak Harun mencoba lebih santai di jalan Tol. Satu jam kemudian, Pak Harun turun di Gerbang Tol Gunung Sari Surabaya untuk sarapan pagi. Sepertinya Pak Harun memang sudah sangat hafal dengan tempat sarapan yang sudah buka. Mereka turun di warteg dekat jalan raya yang sudah buka sejak pagi, makanan yang dihidangkan juga cukup beragam. Pak Harun bercerita jika ke Surabaya pagi, seliau selalu berhenti di warteg ini untuk sarapan, sampai-sampai pemiliknya hafal sekali.


Mereka sarapan tidak lama disana, karena memang ingin sampai Lamongan lebih cepat. Beliau menawari lewat jalur selatan atau utara. Mereka manut dengan Pak Harun, dan beliau memilih lewat jalur utara saja agar lebih santai.


Satu jam setengah berlalu, mereka sudah memasuki jalanan desa yang samping kanan dan kirinya penuh dengan tanaman petani dan waduk. Arif sudah tidak sabar bisa sampai rumah, akan tetapi Pak Harun mengajak ke rumah Nanda terlebih dahulu yang lebih jauh kemudian ke rumah Ana.

“Al, kamu beneran ikut di rumah Ana?”, tanya Mb Rahmah.

“Iya mb.”, jawab Alya

“Iya mb ndak apa-apa di rumahku saja, kebetulan saudara laki-lakiku pada tidak di rumah januari ini. Keduanya dapat beasiswa ke Pare selama sebulan.”, tambah Ana yang meyakinkan.

Perjalanan tetap berlanjut sampai memasuki hutan-hutan, rumah Nanda masih menyusuri hutan-hutan. 15 menit kemudian sampailah mereka di rumah Nanda. Keluarga Nanda sudah menyambut mereka dengan suka ria, saat memasuki rumah sudah ada beberapa hidangan yang tersaji. Mereka dipersilahkan untuk sarapan lagi. Pak Harun bilang jika tidak bisa berlama-lama karena harus bergantian ke rumah yang lain.


Bapak dan Ibu Nanda membawai Pak Harun dan Mb Rahmah beras dan hasil tani mereka yang lumayan banyak keduanya mengucap beribu-ribu terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada putranya. Pak Harun juga turut berterima kasih karena sudah dikasih banyak bekal, padahal niatan hanya mengantar sekalian silaturrahim ke keluarga Mb Rahmah.


20 menit berselang disana, mereka memasuki mobil lagi menuju rumah Ana. Rumah Ana jika dihitung memang tidak jauh dari sana. 15 menit berselang, mereka sudah sampai di rumah Ana. Bapak dan Ibunya sengaja tidak ke sawah pagi ini karena sudah mendapat kabar kalau putrinya pulang diantar sama Pak Harun dan Mb Rahmah. Orang tua Ana sama dengan orang tua Nanda yang sudah menyiapkan makanan di ruang tamu. Pak Harun mengobrol sejenak sekitar 20-25 sekaligus mencicipi makanan yang sudah dihidangkan.


Saat pulang, bapak dan Ibu Ana memberikan sedikit hasil panen mereka ke Pak Harun sebagai wujud terima kasih yang tidak ada apa-apanya. Pak Harun, Mb Rahmah dan Arif memasuki mobil untuk pulang ke Bulubrangsi. Mereka sudah memasuki mobil dan berpamitan saat meninggalkan parkiran mobil.


Pak Harun terharu dengan banyaknya apa yang didapat, beliau bercanda ke Arif dan Mb Rahmah.

“Kok Kayak malak gini ini kita.”, canda Pak harun.

“Iya nih, belum lagi bapak dan Ibu nanti.”, tambah Mb Rahmah.

“sementara nanti bapak dan Ibu tidak usah membawakan apa-apa dulu aja dek.”, sahut Pak Harun.

“Kayaknya sudah disiapkan mas, apalagi tahu kalau kita pulang.”, jawab Mb Rahmah.

“Iya juga sih, ya Alhamdulillah.”, sahut Pak Harun.

Pembicaraan mereka ternyata menyita jarak tempuh ke desa Arif,

“Rif, Paklek nggak nyediakan apa-apa kan?”, tanya Mb Rahmah.

“nggak tahu aku Mb.”, jawab Arif.

“Iya nih, semoga nggak ya rif.”, tambah Pak Harun.

“Aku turun dulu ya Pak, Mb.”, pamit Arif,

“Iya rif.”, jawab Pak Harun.

Arif kembali ke mobil dan mengabarkan jika kedua orang tuanya sudah dipeseni sama Ibu Mb Rahmah agar tidak menghidangkan makanan, kan sudah saudara sendiri.

“Oke, aku langsung ke rumah Mb Rahmah ya Rif.”, sahut Pak Harun.

“Iya Pak, terima kasih banyak. Nanti sore kalau mau balik kabar-kabar ya pak.”, jawab Arif.

“oke siap Rif.”, jawab Pak Harun.

 Mengenang Luka

Liburan dua pekan ini, Ana memanfaatkan waktu untuk silaturrahim kepada keluarga terdekat, guru-guru dan teman-teman. Ana mengenalkan beberapa tetangganya kepada Alya. Suasana desa Ana tidak jauh berbeda dengan desa Alya, dia merasa desanya lebih pelosok daripada desa Ana.


Sore itu, Ana mengajak Alya jalan-jalan sore ke desa tetangga mengendarai motor supra milik kakaknya. Ana ingin mengajaknya membeli cemilan sekaligus mengenalkannya dengan daerahnya. Saat membeli martabak di tepi jalan yang ramai ada seseorang yang menyapa Ana.


“Ana ya?”, sapa seseorang.

“iya mb ningrum.”, jawab Ana.

“wah bagaimana kabarnya nih An? Lagi libur semester juga kan?”, tanya Ningrum.

“Iya mb, alhamdulillah jadi bisa pulang.”, jawab Ana.

“jadi di Jogja ya?”, tanyanya lagi.

“enggak mb, aku di Malang sama Arif dan Nanda.”, jawab Ana.

“Oh iya sih.”, tambah Ningrum.

“Alhamdulillah ya mb Ningrum bisa tahu Jakarta sekarang, bisa kuliah keperawatan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.”, ucap Ana.

“Iya An, alhamdulillah. Ya berkat orang tua juga sih yang mampu membiayai.”, tambah Ningrum sambil senyum.

Penjual martabak memotong pembicaraan mereka, karena martabak pesanan Ningrum sudah jadi.

“Aku duluan ya An, mampir nanti ya.”, ucap Ningrum.

“Wah terima kasih banyak Mb, mohon maaf belum bisa mampir dulu.”, jawab Ana.

Tidak lama berselang pesanan Ana sudah jadi, mereka kembali menyusuri jalanan desa yang kanan dan kirinya ditemukan ladang-ladang petani jagung yang sudah terlihat tumbuh. Keadaan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan lingkungan Asrama.

_____

Hari kedua di rumah Ana, Alya dia ajak untuk berkunjung ke rumah Bu Lisa. Dia mencoba menghubungi pagi itu juga tapi belum ada jawaban. Selang satu jam Bu Lisa menjawab dengan pesan singkat.


Besok sore saja ya An, Ini Bu Lisa lagi ada pelatihan di Pesantren sampai pukul 14.00WIB.

Pesan singkat itu membuatnya merubah fikiran untuk ganti kunjungan, sambil menunggu jawaban dari Sari. Ana membantu Ibunya membersihkan singkong yang sudah dipetik kemarin sore. Bapaknya sudah ke sawah untuk sekedar memperbaiki tanaman cabe yang kurang pas. Ibunya sengaja tidak ke sawah karena Ana di rumah. Ana sudah meminta izin sejak habis shubuh kalau mau silaturrahim ke Bu Lisa, Ibunya sangat mengizinkan dan sudah menyiapkan sedikit hasil bumi yang mereka miliki.


Siang itu Ana mendapat jawaban dari Sari, kalau dia belum libur karena ada pra praktikum untuk mahasiswa semester satu. Dari jawaban-jawaban itu, akhirnya Ana memutuskan di rumah saja membuat makanan olahan dari singkong bersama Alya.


Sore itu,bapak Ana sudah datangdari sawah. Ana sudah menyediakan olahan singkong khas desa. Singkong rebusan yang dicampur dengan gula jawa, rasanya mantap jika dikonsumsi saat hangat. Ana, Alya dan Ibu Ana sedang duduk-duduk di depan rumah dengan tetangga-tetangga yang lain, mengobrolkan tentang kuliah Ana atau yang lainnya.


Tidak lama dari itu, bulek dan paklek Ana datang. Sesuatu yang jarang sekali Ana ketahui. Mereka datang tidak seperti biasa, terlihat rama dan banyak senyum. Biasanya jika datang ke rumah, yang diomongkan hanya mau meminta jatah tanah yang sedang digarap oleh Bapak. Padahal itu jatah yang hanya diterima oleh bapak dari beberapa petak lainnya. 


Mereka juga sering mengejek Ana, kakaknya dan adik karena bukan anak kandung yang hanya menyusahkan mereka. padahal keduanya sudah sangat ikhlas merawat. Ana dan kakaknya memang bukan anak kandung bapak dan Ibunya, Ana dan kakaknya adalah anak dari adik bapak Ana, orang tuanya meninggal kecelakaan saat keduanya masih kecil sedangkan adiknya adalah anak kandung bapak dan Ibunya yang sudah lama sekali menanti.


Paklek dan Buleknya adalah orang kaya tapi tidak pernah mau tahu urusan keperluan Ana, keduanya jga tidak pernah memberikan uang sepeser untuk sekedar jajan sampai Ana kuliah di Malang ini.


“luh kok di rumah nduk?”, tanya Bulek.

“Iya bulek.”, jawab Ana.

Ibu langsung bergegas masuk memanggil bapak, Ibu memang banyak diam kalau sudah urusan dengan Paklek dan Bulek karena sudah berkali-kali sakit hati dari dulu. Bapak keluar rumah dengan menanyakan ada perlu apa keduanya kesini. Ana dan Alya masuk ke dapur, seolah sedang membersihkan sesuatu.


“ini luh mas, kan mumpung Ana di rumah. Aku mau menawarkan dia jodoh.” Ucap Bulek dengan enaknya.

“apa? Sopo seng arep nikahno Ana?”, jawab bapak dengan suara yang agak tinggi.

“kan daripada kuliah gak ada biaya kan mending dinikahkan saja to mas.”, sahut Bulek.

“iyo bener mas, lagian sampean susah payah cari uang. Kuliah di Malang perlu uang banyak.”, tambah Paklek.


Ana dan Ibunya yang terdengar pembicaraan mereka langsung kaget, Ibu mencoba menghentikan langkah Ana yang mau melabrak ke ruang tamu.

“wes nduk, biar diurus sama bapakmu saja. insyaAllah bapakmu tidak akan membiarkan itu.”, ucap Ibu sambil menghentikan langkah Ana.


Terdengar suara bapak yang agak marah di ruang tamu,

“kok enak kalian datang-datang bilang mau menikahkan. Lah selama ini kalian kemana saat Ana butuh uang untuk sekolahnya? Atau untuk jajannya. Ana kan ya keponakan kandungmu sendiri. Dulu Bapaknya kerja keras sampai ke Malaysia membiayai sekolah anakmu si Angga itu sampai bisa jadi PNS itu,apa nggak ingat. Sekarang hidupmu sudah sangat mewah tapitidak ingat balas budi.” Ucap Bapak Ana dengan mata yang geram.


“luh la sekarang ini kan aku menawarkan untuk kebaikannya Mas. Untuk masa depannya.”, tambah Bulek.

“masa depan apa?”, tanya Bapak.

“ini luh yang mau tak kenalkan itu temannya si angga di SMP Negeri Lamongan. Dia sedang cari istri kan enak to wes mapan, dia ya pegawai negeri. Piye mas?”, tanya bulek.

“enggak, biarkan dia kuliah setinggi-tingginya. Urusan jodoh biar nanti dia cari sendiri. Masmu ini yang lebih berhak menentukan daripada kamu.”, jawab Bapak.

“mau kuliah setinggi-tingginya kayak apa mas? Mas mampu apa?”, tanya Bulek.

“mampu, meskipun tanah jatah dia dan kakaknya kamu ambil dan tidak dikembalikan insyaAllah anak-anakku bisa sekolah tinggi.”, jawab Bapak Ana.

Bulek dan paklek seketika keluar rumah tanpa pamit, Ana duduk diam dengan Ibunya di dapur sedangkan Alya di kamar karena tidak enak jika ikut bersama dengan Ana.


Bapak jalan menemui Ibu dan Ana, bapak menjelaskan tapi Ibu menghentikan kalau mereka sudah mendengar. Ibu sangat kecewa dengan saudara bapak yang satu ini. Bertahun-tahun jatah tanah Ana dan kakaknya diambil dan dirubah nama sertifikatnya, bapak Ana juga sudah membiayai sekolah angga sejak SMP sampai kuliah. Ibunya hanya bisa meneteskan air mata karena sudah tidak ada lagi yang bisa membantu, mereka pasrah biarlah Allah yang membalas kejahatan saudara bapak.


“bapak Cuma berdoa supaya kamu nanti bisa menjadi doktor nduk, semangat saja Insya Allah ada jalan toh kakakmu saja juga semangat luar biasa. Kita doakan supaya dia bisa segera keterima di IIUM Malaysia nak.”, bapak menyemangati Ana.


Ana sudah geram sejak dia tahu permasalahan ini, karena mau gimana lagi. Dia dan kakaknya selalu bersyukur masih ada Pakde atau Bapak yang mau menampungnya karena dulu Buleknya mau memasukkan Ana dan kakaknya ke Panti Asuhan di Paciran. Bapaknya tidak setuju, beliau masih berkenan untuk mengasuhnya dengan segala keterbatasa yang dimiliki.

 Hari-hari di rumah

Kejadian kemarin menjadikan Ana selalu sedih, kenapa bulek yang adik dari bapaknya sendiri begitu tidak sukanya dengannya dan kakaknya. Padahal mereka sama saja dengan anaknya. Terkait dengan bapaknya yang pernah menyekolahkan dek angga sampai lulus kuliah dengan tabungan bapak yang dipercayakan kepadanya. Ana pun tidak pernah menanyakan masalah itu, kakaknya sempat marah besar tapi apa daya karena ini balas budi, mereka tidak boleh menuntut.


Pagi itu, bapak Ana sudah ke sawah. Ibunya di rumah karena takut jika buleknya ke rumah lagi. Ibunya juga menyuruh keluar rumah saja dengan tetap hati-hati. Ana memilih di rumah dan mengurungkan diri untuk keluar rumah untuk silaturrahim.


“buk, kenapa bulek segitunya sih sama aku?”, tanya Ana.

“iya, nggak tahu juga Ibu pastinya, kenapa segitu marahnya dengan Bapak dan almarhum Bapak. Aku nggak bahas masalah balas budi karena itu kembalike diri masing-masing. Dari cerita Bapak juga kan kalau beberapa jatah tanah bapak diambil alih sama bulek.”, ucap Ana.

“Iya An, yang sabar ya.”, tambah Ibu.

“Ibu pasti tahu sesuatu tentang ini kan?”, tanya Ana.

“sebenarnya iya, cuman Ibu tidak enak sama bapak kalau cerita.”, ucap Ibu.

“Ayo bu!, ayo ke sawah saja nyusul bapak biar aku lega. Apa kakak sudah tahu?”, tanya Ana.

“kakakmu sudah tahu, bapak sudah menceritakannya dulu.”, ucap Ibu.

Ana melongo dan menanyakan kembali, “kenapa aku nggak dikasih tahu bu?”.

Ibu tidak tega jika membiarkan rasa penasaran Ana, beliau mengajaknya ke sawah menemui bapak.

___

Ana berjalan santai menuju tempat Bapaknya duduk. Bapak kaget jika Ibu dan Ana kesana. Ibu diam saja dan duduk disamping bapak.

“kenapa? Bulekmu datang lagi ke rumah?”, tanya Bapak.

“enggak pak.”, jawab Ibu santai.

“lah Alya ditinggal di rumah?” tanya bapak.

“ada adik di rumah pak, Alya juga minta di rumah saja.”, jawab Ana.

“Pak kenapa aku gak dikasih cerita terkait dengan kemarahan bulek sampai detik ini sama bapak dan almarhum bapak?”, tanya Ana.

Ibu hanya melirik saja ke arah bapak, mengisyaratkan agar bapak segera bercerita kepadanya.

“kenapa pak? Kakak sudah tahu kan?”, tanya Ana.

“yasudahlah, kan kamu sudah besar bapak akan cerita.”, tambah bapak.

Angin semilir sawah membuat mereka semangat bercerita, ana mengambil posisi yang enak untuk mendengarkam cerita Bapaknya.


“jadi, dulu bapak, bapakmu sama bulek tinggal satu rumah. Bapakmu ke Malaysia untuk kerja jadi TKI sejak lulus SMA. Bertahun-tahun kerja hasilnya untuk membeli tanah di rumah bulekmu itu, tanah terbeli setelah itu kakek dan nenek mengajukan membangun rumah sederhana. Bulekmu masih sekolah SMA waktu itu, pengen kuliah kayak teman-temannya. Akhirnya uang untuk membangun rumah dibuat kuliah bulekmu. Bapakmu pulang karena dijodohkan dengan Ibumu waktu itu, ya membawa pulang uang apa adanya. 


Uang kuliah bulekmu kurang, dia pengen uang itu untuk menambah uang kuliah bulekmu dan mengurungkan nikahnya dengan ibumu. Bapakmu marah, tidak mau karena sudah perjanjian dengan keluarga Ibumu yang ada di Tuban. Bulekmu marah karena menuntut katanya mau menyekolahkan sampai kuliah. Setelah pernikahan bapak dan Ibumu, bapakmu kembali ke Malaysia bekerja keras untuk membiayai kuliah bulekmu, ternyata di tahun kedua bulekmu kepincut dengan paklekmu sekarang dan meminta menikah saat kuliah. Ternyata biaya kuliah tetap ditanggung oleh keluarag kita. Pak de merasa eman kalau tidak dilanjut akhirnya Pak de sama bapakmu bekerja keras untuk menuntaskan. Beberapa tanah sudah habis kita jual, di perjalan itu juga kakek dan nenekmu meninggal pada tahun yang sama. Bulekmu lulus ternyata minta ikut CPNS, tapi pakai jalur belakang. 


Pak de sudah melarang, karena kami sudah tidak punya apa-apa termasuk bapakmu karena harus membiayai ibu dan kakakmu, ibumu pasrah sekali nduk ndak macam-macam. Karena bulekmu ingin kayak begitu tadi, akhirnya tanah yang diwariskan kepada bapak dan almarhu bapakmu dipinjam blangnya. Kami berikan saja dengan perjanjian, ya namanya adik kakak masa iya harus diatas hitam dan putih. Ya itulah salah satu sebab hilangnya hak-hak bapak dan almarhum bapakmu. Tanah ini bawaan ibumu atau budemu.”, penjelasan bapak yang belum berakhir.


“kemudian yang menjadikan kecewa sampai saat ini sama kamu dan kakakmu termasuk bapak ya apalagi kalau bukan harta.”, tambah Bapak.

“harta apa? Kan kita selama ini juga tidak pernah mencicipi apa-apa lagi pak?”, tanya Ana.

“Iya An, jadi, setelah tanah itu dijual untuk bisa jadi CPNS. Bapakmu pulang membawa uang, uang itu ditabung di rekening bulek dibuatlah untuk membiayai sekolah anaknya. Padahal kakakmu ya apa adanya lagi. Janji bulekmu memang mau menyekolahkan tapi kakakmu dibiayai di sekolah yang ada di rumah saja. Anaknya dimasukkan pesantren.”, tambah Bapak.

“tapi bulek nggak jadi PNS itu?”, tanya Ana.

“Iya memang nggak jadi, karena bulekmu ditipu dengan uang sekian banyak itu. Tanah hilang.”, jawab Bapak.

“terus apa yang membuat marah?”, tanya Ana.

“bulekmu iri karena ketika bapakmu pulang, ternyata membeli tanah yang ada di seberang jalan rumah Pk RW itu. Sedangkan bulekmu sudah tidak punya apa-apa, Cuma rumah yang ditinggali oleh orang tua itu yang kami khlaskan untuk dia. Pak de mengalah saja termasuk bapakmu. Jadi, rencana bapakmu mau pindah ke Tuban saja setelah kelahiranmu. Ternyata Ibumu meninggal. Sertifikat tanah itu bapak simpan sampai saat ini, bulekmu masih ingin meminjamnya tapi bapak sudah kapok dan tidak percaya. Suami bulekmu kan ya kerja harian saja begitu-begitu saja.” Penjelasan Bapak.

“tapi kenapa segitu marahnya?”, ya gitu itu.

“ya Alhamdulillah sekarang sudah jaya nduk bulekmu biar tidak mengganggu saja.”, tambah Bapak.

“kakakmu sudah menesal dan ingin jauh dari sini karena melihat sepupunya bisa sampai kuliah tapi dia harus susah paya. Mangkanya dia pengen kuliah keluar juga, ya alhamdulillah langkah demi langkah dimudahkan termasuk kamu ternyata ada saja yang membantu dengan segala keterbatasan bapak dan ibu.”, ucap Bapak.

“kenapa tanah itu tidak dijual saja Pak, Bu?”, tanya Ana.

“tidak nduk, nanti kalau sudah waktunya biar kalian bahas saja sama kakakmu. Sengaja tanahnya Pak De kontrakan kepada Pak Rumi, dari uang itu bisa dibuat sedikit membantu kakak dan kamu.”, jawab Pak De.


Ana sedikit melihatkan wajah sedih, dia hanya berdoa dalam hati supaya buleknya dibukakan hidayah untuk mengasihinya seperti anaknya sendiri. Dia juga ingin bisa seperti kakaknya yang punya cita-cita tinggi untuk kulaih ke luar negeri.


Ana berterima kasih kepada bapak dan ibunya karena mereka bisa samai saat ini, bapaknya juga cerita jika niat dari keluarga yang di Tuban untuk mengajaknya tinggal disana tapi Pak denya tidak enak karena ini menjadi tanggung jawabnya sebagai wali. Pak Denya juga tahu kondisi keluarga yang di Tuban.

 

Bersambung...


Posting Komentar untuk "Puan Tak Malang (8)"