Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan adalah Subjek, Bukan Objek

          


 Sister Fillah, You Will never be alone. Buku yang sampulnya bernuansa ungu dengan ilustrasi yang ciamik ini adalah edisi diperkaya. Buku terbitan Mizan, Cetakan 1 tahun 2022, setelah mencetak dua kali di tahun 2020.

Buku yang ditulis oleh Kalis Mardiasih ini adalah kumpulan catatan atas apa yang pernah ditemui. Memang salah satu inspirasi menulis itu adalah dari kejadian yang kita lihat dengan mata, dan didengar dengan telinga. Segala sesuatu yang kita lihat dan dengar bisa menjadi bahan tulisan yang menginspirasi orang lain, sama halnya dengan tulisan-tulisan Kalis Mardiasih ini. Buku ini mengandung banyak topik yang bisa kita ambil maknanya dan disesuaikan dengan kondisi sekitar.

Perempuan adalah salah satu jenis manusia yang hidup berdampingan dengan laki-laki. Segala ragam kehidupannya dari A sampai Z memang selalu hangat untuk diperbincangkan. Maka dari itu, topik-topik yang diangkat juga tidak jauh dari kehidupan sekitar. Perempuan yang secara biologis mempunyai pengalaman akan menstruasi, hamil, melahirkan, nifas dan menyusui dan tidak bisa dibebankan kepada suaminya ini juga mempunyai pengalaman sosial yang harusnya bisa dicegah, yaitu stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban ganda.

Perempuan yang distigmatisasi dengan manusia penuh keribetan, anggapan ribet ini adalah dari segi dress up  dan make up. sehingga tidak pantas untuk menjadi pemimpin karena akan membuang-buang waktu jika akan rapat, belum lagi dengan sikap emosionalnya yang gampang marah-marah atau tersinggung dan anggapan jangkauannya tidak seperti laki-laki karena faktor keperempuanannya. Ini menjadi rahasia umum, akan tetapi kondisi ini tidak bisa kita iyakan saja, alangkah lebih baiknya ada sebuah pertimbangan dari kemampuan yang dimiliki oleh anggota dalam sebuah organisasi atau komunitas tersebut. Jika, si perempuan secara menejerial organisasi dan wawasan terkait dengan visi misi organisasi lebih daripada yang lain, kenapa tidak?. Terkait dengan jangkauan yang tidak seluas laki-laki, bukankah sebuah organisasi atau komunitas adalah sebuah perkumpulan lebih dari dua orang. Dengan itu, roda organisasi atau komunitas dapat dikerjakan dengan kolektif kolegial.

Perempuan yang dianggap satu tingkat lebih rendah, dan tidak layak mendapat Pendidikan yang sama. Jika saya melihat sekitar, sudah banyak perempuan yang sekolah sampai S3 dan mendapat gelar professor atau bahkan sekolah keluar Negeri untuk menimba ilmu dari sumbernya langsung, akan tetapi kenyataannya di Masyarakat kondisi seperti ini masih ada anak perempuan yang sudah jelas lebih pandai saat sekolah dinomer duakan dengan saudaranya yang laki-laki, karena anak perempuan setelah menikah akan mendapat penghidupan dari suaminya jadi tidak perlu capek-capek mencari pundi-pundi rupiah. Persoalan nafkah memang itu hak istri, akan tetapi jika kita lihat pada aspek yang lain bahwa sekolah tinggi bukan hanya persoalan mendapatkan uang yang banyak setelah lulus, akan tetapi keutuhan menjadi manusia yang selalu berfikir dan belajar dimanapun secara mandiri atau terikat instansi.

Seorang perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga secara penuh meskipun selesai menuntaskan Pendidikan tingginya itu juga tidak salah. Banyak yang mencibir, “Sekolah tinggi-tinggi tapi ijazah tidak berguna”, kalimat seperti ini juga yang sering didengar di telinga kita. Seorang teman lulusan Universitas ternama di Indonesia, saat kuliah mendapat beasiswa juga, bisa dikatakan Perfect yang di tahun lalu memutuskan untuk berhenti mengajar karena ibunya meninggal, sehingga tidak ada yang diajak bergantian untuk mengasuh putrinya. Keputusan ini yang tentunya juga mendapat komentar buruk dari sekitar. Sejatinya sama saja kedua pilihan ini, akan tetapi ruang kerjanya yang berbeda.



Di buku kalis ini diceritakan dua perempuan yang mampu mendirikan sebuah sekolah. Pertama adalah Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah, seorang perempuan yang mendirikan sekolah Diniyah Putri untuk mewadahi anak-anak perempuan agar mendapat kesempatan belajar, yang kemudian ditiru oleh Universitas Al-Azhar untuk mendirikan kulliyatul Banat. Dari situlah kemudian beliau menjadi perempuan pertama yang mendapat gelar Syaikhah dari Universitas Al-Azhar. Kedua adalah Dr. Dalia Fadila, seorang perempuan ras Arab yang menjadi pengajar pertama di Islamic Collage di Israel pada tahun 1990an, sedangkan pengajar yang lain adalah syaikh. Dr. Fadila Rahma kemudian mendirikan sekolah untuk mendidikan guru perempuan dengan nama Q-School yang artinya adalah Equality School.


Dari keseluruhan kondisi yang diceritakan oleh Kalis dalam bukunya ini, ada sebuah kesimpulan bahwa, Pertama, Perempuan butuh tempat untuk menyalurkan kemampuannya di segala bidang. Perempuan berhak sebagai full time Ibu rumah tangga, pembicara di seminar, koki, ahli parenting, praktisi Pendidikan, dokter, guru, petani, dan lainnya agar dunia ini bisa seimbang dengan pemikiran-pemikiran dari sudut pandang laki-laki atau perempun. Anggapan bahwa perempuan adalah manusia lemah dan kurang akal juga bisa sedikit demi sedikit hilang, karena sejatinya akal manusia sama jika mempunyai ruang dan kesempatan yang sama karena takwanyalah yang berbeda dihadapan Allah SWT. Kedua, perempuan butuh support. Makanya saat hari perempuan ada tagline women support women karena terkadang perempuan sendirilah yang menjatuhkan sesame perempuan. Apapun keputusan perempuan, maka itulah yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya, karena keduanya pasti berbeda dari perempuan yang lain. Terakhir, satu hal yang perlu diketahui, bahwa perempuan adalah Subjek kehidupan bukan objek.

Posting Komentar untuk "Perempuan adalah Subjek, Bukan Objek"