PEREMPUAN ISLAM ORGANISATORIS
![]() |
Gambar : freepik.com dan edit pribadi |
Organisasi Islam khusus perempuan di Indonesia sangatlah
banyak, beberapa organisasi Islam di antaranya seperti Aisyiyah, Muslimat,
Nasyiatul Aisyiyah, Fatayat, Persistri dan Wanita syarikat Islam. Keseluruhan
organisasi pasti tidak asal-asalan didirikan begitu saja, pasti ada maksud dan
tujuan. Beberapa organisasi perempuan Islam didirikan sebagai sayap atau
organisasi otonom untuk mewadahi para perempuan agar bisa belajar dan
bermanfaat untuk masyarakat yang lebih luas.
Nyai Ahmad Dahlan atau Siti Walidah, yaitu pendiri Aisyiyah karena pernikahannya dengan KH. Ahmad Dahlan sehingga mengikuti perjalanan dakwahnya untuk membesarkan organisasi Muhammadiyah. Sehingga beliau membuat wadah khusus untuk para perempuan untuk belajar agama Islam, membaca dan menulis, yang waktu itu bernama Sopo Tresno yang bertujuan untuk menunjang perjuangan Muhammadiyah.
Dengan gambaran ini, saat ini organisasi-organisasi perempuan membuat segala
gerakan yang tanggap akan zaman. Sama halnya dengan Muslimat, Muslimat NU juga
dimaksudkan untuk melaksanakan tujuan NU di lingkungan perempuan, yaitu untuk
mengamalkan Islam menurut haluan Ahlussunnah Waljama’ah.[1]
Dengan menelaah sejarah berdirinya organisasi-organisasi perempuan Islam, ini menunjukkan bahwasanya perempuan juga berhak untuk mengabdi di wilayah publik. Sebagaimana NU juga membahas dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Lombok pada tahun 1997. Munas tersebut melahirkan suatu keputusan atau maklumat tentang kedudukan Perempuan Dalam Islam.[2]
Isinya adalah bahwa Islam mengakui eksistensi perempuan sebagai manusia utuh,
yang berhak untuk mengabdi kepada agama, nusa dan bangsa sama dengan laki-laki.
Kemudian Islam mengakui adanya perbedaan fungsi antara laki-laki dan perempuan
secara kodrati, Islam juga mengakui bahwa perempuan bisa berperan di dunia
publik di sisi perannya di dunia domestik dan ajaran Islam menjelaskan
bahwasanya perempuan mempunyai derajat yang setara dengan laki-laki.
Landasan dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat ayat 13 juga menjelaskan bahwa yang membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah Takwanya, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal."
Dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya, "Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”, kata manusia di sini tidak ada pengecualian antara laki-laki dan
perempuan, maka dari itu Allah SWT mengizinkan laki-laki dan perempuan untuk
berkontribusi sama yang tidak menyalahi kodrat dan dijelaskan lagi dalam Surat Ali
Imran ayat 195 yang artinya “"Maka Tuhan
mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman)", “Sesungguhnya Aku tidak
menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain.”
Sumbangsih perempuan zaman dahulu juga patut diperhitungkan dan tidak main-main, seperti Aisyah binti Abu Bakar seorang ahli hadis serta fikih, Sutaita Al-Mahamali dari Baghdad seorang ahli matematika, Fatima Al-Fihri seorang perempuan yang mendirikan Masjid Qarawiyin di Maroko dan Universitas Pertama di Indonesia. Dalam bidang medis juga banyak perempuan dahulu yang ikut berkontribusi seperti, Nusyaba Binti Ka’ab, Ummu Sinan Al-Islami, dan Ummu Waraqa Binti Harits.[3]
Kontribusi-kontribusi mereka tentu dengan adanya pengakuan orang lain dalam
suatu perkumpulan, apalagi para perempuan yang terjun di bidang medis, pasti
mereka juga menguasai ilmu berkomunikasi, berkordinasi dan mengorganisir yang
saat itu mungkin belum dikatakan sebuah organisasi.
Dengan gambaran-gambaran di atas, maka tidak salah jika perempuan memilih menjadi seorang organisatoris. Kemudian bagaimana dengan keluarga?
Jika memilih untuk berperan di dunia publik dengan wadah organisasi,
maka keseluruhannya harus sejalan meskipun kenyataannya pasti ada yang dilakukan
kurang sempurna. Beberapa hal yang harus diperhatikan jika ingin menjadi
perempuan Islam organisatoris, di antaranya adalah:
1. Pertama,
mintalah izin dan rida suami, berdiskusi tentang peran-peran domestik yang
sekiranya bisa bergantian.
2. Kedua,
memilih organisasi perempuan yang ramah anak, tidak ada permasalahan jika
mengajak anak saat kegiatan dan rapat sehingga tidak perlu bingung meninggalkan
anak saat ikut kegiatan organisasi.
3. Ketiga,
mengalihkan beberapa pekerjaan kepada orang lain, seperti bersih-bersih rumah,
mencuci, menyetrika dan lain sebagainya, alih-alih berbagi rezeki.
4. Keempat, Self
Management yaitu mengatur diri sendiri. Ada kutipan yang menarik dari dr.
Davrina Rianda, “Apa yang sering kita bayangkan di awal ketika menjalani
peran sebagai ibu, istri dan muslimah produktif adalah waktu yang sulit diatur.
Setelah pelan-pelan menjalaninya, ternyata yang paling perlu diatur adalah diri
kita sendiri.”[4]
Sebenarnya waktu setiap orang di muka bumi ini sama, 24 jam itu artinya
pernyataan di atas benar bahwa harus bisa mengatur diri sendiri agar bisa
mengendalikan kesibukan yang mungkin setelah itu diorganisir waktunya dengan
baik dengan membuat timeline yang menarik.
5. Kelima, rajin
membaca dan menggali ilmu. Sejatinya berorganisasi tidak melulu berkumpul
kemudian bakti sosial atau kerja bakti, tetapi ada misi sosial lain seperti
menyuarakan kebenaran yang butuh akan kajian sehingga harus tetap banyak
membaca dan menggali ilmu yang relevan. Apalagi organisasi-organisasi perempuan
saat ini mempunyai misi untuk mendampingi perempuan dan anak yang rentan akan
kekerasan atau perlakuan yang tidak sewajarnya.
6. Keenam,
menghadirkan kepentingan-kepentingan perempuan di dunia publik sesuai dengan
ajaran Islam agar keputusan sesuai dengan yang perempuan rasakan bukan atas
dasar apa yang dilihat oleh laki-laki, karena akan menjadi rasa yang berbeda.
Gambar : freepik.com dan edit pribadi
Bagi para perempuan yang ingin terjun dan mengabdikan
diri di dunia organisasi, sekali lagi bahwa Islam tidak pernah membatasi untuk
berkiprah di ruang publik selama tetap mejaga syariat dan untuk menyebarluaskan
keilmuan dan pemikiran-pemikiran yang sejalan dengan dakwah Islam, yang bisa
bermanfaat untuk Islam lebih luas. Tentunya agar sejarah bisa mencatat
nama-nama perempuan pada tahun-tahun 2000an yang mampu berkontribusi untuk Islam
dan negara.
[1] Musdah Mulia, Muslimah Reformis For Milenial (Jakarta : PT Elex
Media Komputindo, 2021), hal. 328.
[2] Ibid, hal. 323
[3] Yulrachma, Jangan Takut Bicara Masa Depan (Jakarta : PT Elex Media
Komputindo, 2022), hal. 103.
[4]
Davrina Rianda, Trias Muslimatika (Jakarta : PT
Elex Media Komputindo, 2019), hal. 305.
Mantap kak
BalasHapusPromosi donk kak
Blog baru kak
https://muhammadidhan1998.blogspot.com/?m=1
Siap, insyaAllah dikunjungi..
Hapus