Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puan Tak Malang

 

Gambar 1 : Puan tak Malang/silviavird.blogspot.com

Kehidupan akhir pesantren

“teng teng teng” suara kentongan penananda waktu sholat berjamaan di masjid memanggil. Sedikit rasa sedih terbersit dalam dada, karena waktu-waktu kebersamaan dengan teman-teman dan tempat yang damai akan segera berakhir dalam hitungan hari. Ana mengambil wudhu dengan semangat, karena dia ingin menikmati waktu-waktu terakhirnya dengan suka cita.


Sholat maghrib berjamaah kami lakukan bersama dengan teman-teman, mengaji bersama dan saling bertukar cerita tentang persiapan perkuliahan. Ya, kami di pesantren tinggal melaksanakan ujian akhir dan ujian membaca kitab kuning sebagai penanda waktu belajar kami berakhir di kampung damai ini.


Pondok yang nyaman, asri dan lingkungan pedesaan yang membuat kami semakin suka dengan lingkungan belajar seperti ini. Cerita kami kulik dari senior-senior yang lebih dulu belajar di perguruan tinggi dengan berbagai suka dukanya. Sari dan Mona berencana untuk melanjutkan di sekolah tinggi ilmu kesehatan yang terdekat dengan rumahnya, sedangkan rahma ingin merantau ke Jakarta. Dia ingin belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mengambil jurusan Dirasah Islamiyah, sedangkan Ana yang lebih pasrah ketika berdoa agar ditempatkan ditempat yang terbaik.


Cerita tidak kami lanjutkan lama, karena jam makan malam datang. Kami harus segera mengambil makan, jika tidak maka tidak ada makan malam. Turun dari masjid kami nikmati dengan berjalan landai dengan menikmati jalanan menuju asrama. Terlihat dari kejauhan, teman-teman kami sudah mengantri untuk mengambil makan. Ya, kami malam ini ada belajar bersama sebagai persiapan Ujian Nasional di Sekolah dengan guru.


Guru kami menawarkan pelajaran tambahan bagi santri putri di malam hari, santri putra di sore hari. Rasanya hati semakin ingin menangis, tidak ingin keluar pesantren. Rasa-rasanya ingin menetap saja disini. Melihat keinginan teman-teman, Ana sebenarnya juga menginginkan banyak sekali harap untuk bisa kuliah di tempat yang jauh. Tempat jauh tidak hanya sekedar untuk pamer gengsi saja, akan tetapi dia yakin ada pembelajaran dan pengalaman kehidupan yang sangat berarti untuknya.


Ana dan teman-temannya mengambil makan, segeralah menghabiskan dan bersiap sholat isya di masjid lagi. Dia tidak ingin tertinggal kesempatan untuk belajar malam ini, karena malam sebelumnya dia tidak konsentrasi dengan belajarnya. Orang tuanya sudah berserah untuk kelanjutan belajarnya, karena Cuma mampu sampai di pesantren saja, sedangkan beberapa temannya ada yang sudah diterima di Perguruan Tinggi Negeri terbaik di Indonesia.


Latihan soal demi latihan soal diberikan oleh Pak Ahmad, guru Matematika kelas XII. Kami sangat antusias untuk mengikutinya, karena pelajaran ini sangat membantu. Usai belajar, pak ahmad memanggil Ana dan sari, beliau ingin berbincang dengannya sejenak.


“Ana, mau ambil kuliah dimana?” tanyak pak Ahmad

“saya masih belum tahu pak.”, jawab Ana

“kenapa bisa begitu, teman-temanmu sudah pada memilih jurusan luh, masak kamu belum apa-apa?” tanyak ulang Pak Ahmad.

“Iya Pak, dia masih bingung karena orang tuanya sudah tidak sanggup membiayai kuliahnya nanti, mangkanya dia masih bimbang mau apa habis lulus dari pesantren ini.”, sela Sari dengan mengebu.

“kenapa kamu tidak cerita kepada bapak atau bu Lisa dengan masalahmu? Siapa tahu kami para guru bisa memfasilitasi atau mencarikan solusi?’ sahut pak Ahmad.


Ana masih terdiam dan enggan jujur kepada guru Matematikanya ini. Pak Ahmad semakin serius menunggu jawabannya yang tidak kunjung keluar dari mulutnya.


Kehidupan akhir pesantren (2)


Malam semakin larut, Pak Ahmad masih tak kunjung mendapat jawaban dari Ana, saat pak Ahmad ingi berpamit Ana menyampaikan bahwa dia ingin mengutarakan unek-uneknya esok hari saja bersama Bu Lisa. Pak ahmad bak mendapat guyuran air yang menentramkan, karena beliau akan mendengarkan alasan Ana esok hari. Ana dan sari bersegera pergi ke asrama untuk istirahat. Rutinitas sebelum tidur dia selesaikan bersamaan dengan sari.


“teng teng teng”, jaros pagi terdengar dan membangunkan santriwati yang mau menjalankan sholat tahajud. Ana dan sari saling membangunkan untuk bersiap sholat Tahajud di Masjid. Keduanya menikmati sholat di masjid megah pondok, dengan meruntuhkan beberapa sesak-sesak dada.


Jaros kedua mulai banyak santriwati yang datang ke Masjid untuk bersiap sholat Shubuh berjamaah. Rakaat demi rakaat dilalui dengan khusyu seluruh santriwan dan santriwati pondok. Shalat dan dzikir usai, Pak kyai memulai kuliah shubuh yang selalu dirindukan oleh alumni. Ketika alumni berkunjung banyak sekali yang bercerita jika mereka sangat merindukan kuliah shubuh Pak Kyai.


Ana tidak mau melewatkan hari-hari terakhirnya untuk mendengarkan kuliah shubuh ini, agar tidak menyesal jika sudah keluar nanti.

 

Pelajaran Tambahan menjelang UNAS


      Seluruh santri kelas XII dijadwalkan pelajaran tambahan menjelang UNAS pada jam yang berbeda. Ana dan sari yang terjadwal pukul 09.00-11.00 WIB, sudah mulai bersiap dengan masuk kelas mereka.


Pagi ini yang akan mengisi pelajaran adalah Bu Lisa, seorang guru Kimia. Beliau adalah wali kelas XII IPA 3. Kedatangannya di kelas memang selalu ditunggu sebagai ajang diskusi terkait dengan persiapan kuliah. Ada yang menanyakan kondisi kampus, jurusan dan lingkungan belajar. Bu lisa sendiri adalah seorang Sarjana Pendidikan Kimia Universitas Negeri Yogyakarta 8 Tahun lalu, beliau terkadang juga menceritakan pahit getirnya menyiapkan kuliah di tengah keluarga yang tidak mampu. Beliau juga lulusan pesantren seperti Ana dan Sari.


Bu lisa datang, mengucapkan salam.

“Assalamu’alaikum Wr Wb, anak-anak” ucap salam Bu Lisa dengan senyum yang sumringah, ditambah dengan pakain yang tidak pernah mereka lihat. Mereka langsung serentak menjawab dengan sumringah, “wa’alaikumussalam wr wb, ibu”. Mereka memang memanggil ibu dan bapak untuk guru di Madrasah, ustadz dan ustadzah untuk pembina dan pengajar pelajaran di Pondok Pesantren.


“Bu, Yuk cerita saja tentang perkuliahan. Kami sudah suntuk kalau belajar memecahkan soal-soal latihan lagi”, celetuk sarah dari belakang sana. Dia memang menginginkan kuliah di Universitas Airlangga jurusan Sejarah. Dia tidak mau masuk kelas IPS karena baginya, sejarah dapat dibaca kapanpun.


“sarah, kamu tidak boleh seperti itu. Teman-temanmu ada yang belum bisa luh. Kita bahas dua atau tiga soal setelah itu bolehlah kita melanjutkan cerita minggu lalu. Ibu mohon maaf jika kemarin Ibu belum bisa hadir dan digantikan mata pelajaran yang lainnya.” Penjelasan Bu Lisa untuk 30 siswi yang ada di kelas.


“baik bu, siap”, sahut Sarah dengan senyum sumringah. Sarah termasuk siswi yang pandai dan cerdas di kelas, dia anak seorang pengusaha di daerah Brondong Jawa Timur sehingga orang tuanya sangat mendukung dan memfasilitasi apa yang dia inginkan.


Pembahasan berlalu, siswa-siswi berkesempatan untuk bertanya dan mengutarakan unek-uneknya kepada Bu Lisa. Beliau bercerita dan mengarahkan panjang lebar apa yang ditanyakan dan diutarakan oleh siswinya. Ana hanya menyimak dan mengikuti satu pembahasan ke pembahasan yang lain dengan raut muka yang dia coba baik-baik saja.


Kehidupan akhir pesantren (3)


Usai pembelajaran tambahan, bu Lisa memintaku kembali ke sekolah setelah shalat dhuhur dan makan siang. Ana mengangukkan kepala dengan sedikit lambat, seakan ingin menolak tapi dia sadar bahwa guru-gurunya ingin membantu permasalahannya.


Sehabis Sholat Dhuhur dan Makan siang


      Ana berjalan ke sekolah sendiri tanpa meminta didampingi Sari, teman duduknya sejak kelas 10 Madrasah Aliyah. Dia ingin leluasa bercerita dengan bu Lisa, meskipun dia sangat percaya jika Sari bisa menyimpan rahasia ini.

“Assalamu’alaikum Wr Wb”, ucap Ana di depan pintu ruang guru.


“wa’alaikumussalam Wr Wb”, jawab dua guru yang sangat dia kenal sudah menunggu disana. Ana duduk di ruang itu, dan Pak Ahmad bilang jika masih menunggu beberapa guru dan Anak. Ana mencoba menanyakan, apakah ada anak lain selain dia. Pak Ahmad menjelaskan, “Iya, ini beberapa wali kelas dan kepala sekolah sudah membicarakan terkait ini dan ternyata ada 4 anak yang sangat ingin melanjutkan kuliah tapi tidak ada biaya. Jadi, kami ingin memberi bantuan dengan membicarakan apa yang menjadi kesulitan.”

“saya kira Cuma saya yang dalam kondisi seperti itu pak”, tambah Ana.


Tiba-tiba ada suara salam langsung menyaut ketika Ana menambah penjelasan Pak Ahmad. “Assalamu’alaikum.”, ucap salah satu teman senagkata Ana. Dia cukup tahu saja dengan beberapa teman senagkatan dari santri putra.


“silahkan duduk Arif!”, Bu Lisa meminta Arif duduk tidak jauh dari Pak Ahmad. Beliau juga menanyakan dimana dua temannya, akan tetapi keduanya akan menyusul segera karena pengambilan makan siang yang bersamaan antara santri SMP dan MA yang menjadikan keduanya terlambat datang.


      5 menit berlalu, dua siswa datang dengan senyum rama dan tidak lupa mengucapkan salam. Bu Lisa dan Pak Ahmad tanpa basa basi menyampaikan maksud mengumpulkan 4 siswa dan siswi ini. Satu demi satu dari mereka ditanya, apa yang menjadi alasan masih belum ada gambaran tentang perkuliahan. Ana mendapat giliran pertama untuk menjawab, dia menjelaskan jika kedua orang tuanya tidak mampu jika dia melanjutkan kuliah, kalaupun di dekat pesantren kedua orang tuanya sudah tidak menjanjikan karena Ana adalah anak angkat, sedangkan mereka masih harus membiayai 2 anak angkat lagi.


      Ana memang tidak pernah bercerita jika dia anak angkat kepada temannya. Kedua orang tuanya memang sudah berjanji untuk memasukkan Ana ke Pesantren selama 6 Tahun, setelah itu bergantian dengan dua adik angkatnya. Dia mengutarakan dengan suara yang agak pelan, dia juga jujur, keinginan kuliah sangat kuat, tapi selalu ragu untuk ikut mengajukan beasiswa.


      Arif, Ridho dan Nanda bergiliran mengutarakan masalah demi masalah yang masih menganjal untuk menentukan kuliah. Ridho dan Nanda sudah membulatkan tekad untuk mengabdi di Pesantren saja dengan mengambil kuliah di tempat terdekat. Arif mengambil keputusan yang berbeda, dia ingin bekerja saja karena ayahnya sudah meninggal keluarganya juga tidak mampu untuk membiayai kelanjutan belajarnya di perguruan tinggi.


      Bu Lisa mendengarkan unek-unek kami dengan mencatat dengan rinci, pak Ahmad hanya mendengarkan dan berusaha memahami satu persatu dari kami. 30 menit berlalu, pak Ahmad memulai pembicaraan yang santai dan banyak senyum. Beliau memang sering memotivasi siswa-siswi agar tidak mudah goyah melanjutkan belajar.


      Pak Ahmad menawarkan kepada mereka untuk melanjutkan kuliah di Universitas swasta di Yogyakarta, akan tetapi kami harus tinggal di Pondok Pesantren Mahasiswa selama 4 Tahun, setelah lulus kami harus kembali ke Pesantren untuk mengabdi minimal 2 Tahun. Segala pembayaran saat disana sudah ditanggung oleh pihak universitas, akan tetapi untuk uang jajan akan disediakan 1.500.000 saja selama 6 bulan, itu artinya mereka tetap harus memenuhi kekurangannya.


      Ana dan Arif tanpa pikir panjang langsung mengiyakan tawaran tersebut, akan tetapi Ridho dan Nanda tetap pada keputusan pertama mereka. Nanda ingin dekat dengan Ibunya yang tinggal seorang diri, karena kakak perempuannya ikut suaminya ke Kalimantan.


Bersambung...


Posting Komentar untuk "Puan Tak Malang"