Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puan Tak Malang (3)

 

Gambar : Puan Tak Malang (3)/silviavird.blogspot.com

Perpisahan


Sabtu, 20 Juni pukul 08.00 WIB adalah waktu pelepasan yang dijadwalkan untuk Ana dengan teman-teman seangkatan. Pada hari jumat siangnya mereka sudah harus masuk pesantren untuk mempersiapkannya. Beberapa dari mereka ada yang tidak bisa mengikuti acara ini karena sudah lebih dulu harus mengikuti kegiatan pra perkuliahan di kampusnya.


Ana hanya melamun dan membayangkan jika dia yang ada di posisi itu, maka bahagialah dirinya saat ini. Dia bertemu dengan Sari, sari mengungkapkan beberapa perasaan bahagianya kalau dia sudah diterima di Poltekes Kemenkes Surabaya yang ada di Tuban jurusan Keperawatan. Keluarganya memang menginginkannya untuk melanjutkan di dunia kesehatan, dua kakaknya juga seorang dokter. Orang tuanya sangatlah mampu jika menyekolahkan sampai S2 atau bahkan S3. Dia sudah mencari rumah kos dan lain sebagainya.


“bagaimana denganmu An, sudah siap-siap ke Jogya ya?”, tanya Sari.

“Aku belum tahu pasti dengan nasibku Sar, Aku bingung sendiri.”, jawab Ana.

“luh, kok bisa begitu, bukannya kamu sudah dapat tempat di Jogya seperti yang kamu ceritakan sebelum perpulangan?”, tanya Sari kembali.

“Iya, benar Sar. Tapi ini..”, jawab Ana dengan menyodorkan pesan dari Arif.

“Hah, kamu kok punya nomor Arif si An?”, tanya Sari kaget.

“Iya, aku juga tidak tahu, tapi dia kan senasib denganku Sar. Dia disuruh Pak Ahmad mengabariku segera agar bisa mencari kesempatan yang lain.”, jelas Ana kepada Sari.

“eeeemmmm, apa kamu gak menemui pak Ahmad saja An?”, tanya Sari.

“Iya, Bu Lisa juga menyuruhku menemui Pak Ahmad segera. Kemarin beliau belum bisa diganggu karena mengurus persiapan Akreditasi Sekolah. Kata Bu Lisa tepatnya pas kelulusan saja begitu Sar.”, jelas Ana dengan suara sedikit semangat.

“wah bagus tuh, aku temani deh.”, tambah Sari yang mencoba menyemangati Ana.

“Doakan ya, bolehlah nanti setelah persiapan kita ke sekolah menemui Pak Ahmad.”, tambah Ana dengan semangat.

________

Persiapan sudah beres setelah Isya, mereka mendapat waktu beristirahat tapi tidak diperbolehkan keluar pesantren. Makan sudah disiapkan. Waktu jeda ini Ana ambil kesempatan untuk mencari Pak Ahmad di Kantor sekolah tanpa ada janjian sebelumnya.


“Assalamu’alaikum.”, Ana memberikan salam di pintu kantor.

“wa’alaikumussalam”, Pak Rifa menjawab salamku dengan suara semakin keras dan mendekat.

“iya, ada apa mb?”, tambah Pak Rifa.

“Ada Pak Ahmad, Pak?”, tanya Ana.

“Pak Ahmad barusan saja keluar mb, coba ditunggu sebentar ya InsyaAllah habis ini kembali, tadi Cuma mengantar anaknya pulang karena sudah mengantuk.” Jawab Pak Rifa sangat jelas.


“Baik Pak, Syukron.”, jawab Ana dengan tidak lupa berterima kasih.

“iya, afwan mb.” Jawab Pak Rifa.

Ana menunggu dengan Sari di depan kantor. Tidak lama mereka duduk, terlihat Arif dan Nanda berjalan mendekat ke Kantor guru. Mereka senasib, belum mempunyai kejelasan untuk kelanjutan kuliahnya. Mereka sama-sama duduk menunggu, tanpa saling berbicara. Rupanya Arif dan Nanda sudah tahu jika Pak Ahmad keluar.


10 menit berlalu, Pak Ahmad datang dan mengeluarkan senyum kepada mereka.


“sudah lama ya menunggu saya?”, tanya Pak Ahmad.

“belum pak, baru sebentar.”, jawab Arif.

“Alhamdulillah, masuk saja ya. Kita bicara di dalam saja.”, arahan Pak Ahmad yang membuat mereka bergegas masuk ke Kantor Guru.


Pak ahmad duduk, mereka berempat duduk tidak berjauhan. Pak ahmad memulai pembicaraan dengan mereka. Pak Ahmad menyampaikan seperti yang disampaikan oleh Arif. Mereka sudah sangat faham.


“saya mohon maaf, jika ini diluar dugaan saya. Saya menyerahkan sepenuhnya kepada kalian untuk kelanjutannya. Saya sendiri pun belum bisa mencarikan opsi lain.” Tambah Pak Ahmad.

“saya berencana melanjutkan di Malang saja pak, ada potongan untuk siswa tidak mampu, yatim dan piatu, ada beberapa jurusan agama yang ditawarkan.”, tambah Arif yang terlihat sudah sangat mantap dengan pilihannya.

“wah bagus itu, universitas mana rif?”, tanya Pak Ahmad.

“UMM pak, disana ada tawaran itu. Saya kemarin mendapat informasi dari kakak sepupu yang bekerja disana. Kakak sepupu juga sudah mencarikan tempat tinggal sementara, di Masjid membantu mengurus masjid.”, Arif menjelaskan dengan mantap.

“wah Bagus itu, Alhamdulillah.”, jawab Pak Ahmad.

Ana semakin bimbang, rasa-rasanya mau kemana ini. Jikalau yang di Jogya diambil dia tidak bisa menyambi bekerja karena tinggal di Pesantren. Pasti dia harus ikut jadwal pesantren.

“Nanda bagaimana?”, tanya Pak Ahmad.

“saya ikut seperti Arif Pak, tapi kami nanti mengambil jurusan yang berbeda. Saya akan ambil jurusan Pendidikan Bahasa Arab sedangkan Arif akan mengambil jurusan Hukum Keluarga Islam.”, tambah Nanda yang menjelaskan dengan mantap rencananya.

“wah Alhamdulillah.”, tambah Pak Ahmad

“kamu jadi bagaimana Ana?,” tanya Pak Ahmad.

“saya masih bingung pak, tapi jika saya tetap di jogya saya tidak bisa menyambi dengan mencari uang tambahan karena harus tinggal di Pesantren.”, jawab Ana dengan sedikit terlihat ada kesedihan.

“saya sudah mencoba mencari info ke kakak sepupu yang di UIN Syahid, tapi beliau Cuma menyarankan untuk ikut UTBK sebagai persiapan SNMPTN.” Tambah Ana.

“ow begitu, bagaimana kalau kamu ikut seperti mereka. Nanti bapak carikan tempat tinggal gratis, jadi kamu bisa sambil bekerja.” Jelas pak Ahmad kepada Ana.

“boleh itu dicoba pak.”, jawab Ana.

“kakak sepupuku yang disana perempuan Ana, kemarin beliau menawarkan jika ada anak perempuan yang mau tinggal di Panti Asuhan sekaligus menjaga dan mengajar anak-anak akan dipersilahkan saja, akan tetapi jaraknya yang lumayan harus naik angkot.” Tambah Arif yang seakan membawa energi semangat untunya.

“wah bagus juga itu, coba Ana minta nomor telepon kakak sepupu Arif.”, pinta Pak Ahmad kepada Ana.

“Baik pak.”, jawab Ana.

“siapkan beberapa administrasinya ya An. Senin kita ke Malang bersama. Untuk menginap tidak perlu bingung ada kakak sepupuku disana.”, tambah Arif.

Pertemuan malam ini bagaikan sekenario Allah yang diberikan kepada Pak Ahmad untuk mengumpulkan mereka disana untuk saling bertukar cerita pilihan yang tepat. Ana juga semakin yakin, karena jarak tempat kuliah yang dituju ini tidak jauh dari daerahnya. Ini bisa memudahkan jika sewaktu-waktu harus kembali pulang menjenguk orang tua.

________

Pagi hari mereka mengikuti prosesi wisuda, mereka dipanggil satu persatu ke panggung untuk menerima Ijazah dan kenang-kenangan dari para guru. 90% dari mereka memang akan melanjutkan kuliah, 50% sudah siterima melalui jalur non tes dan beasiswa kementrian Agama.

Orang tua mereka juga turut hadir bersama di acara tersebut. Pak Kiai memberikan wejangan untuk orang tua dan santri-santriwati agar selalu menjunjung tinggi dakwah Islam sekeluarnya mereka dari pesantren, mereka harus selalu menjaga nama baik pesantren di mana saja mereka menginjakkan kaki.

Mereka mengakhiri dengan foto bersama dengan wali kelas masing-masing, meskipun mereka sudah dilepas tetap ada larangan berfoto dengan santri putra.

Mereka saling berpamitan, ini yang menjadikan Ana semakin sedih karena berpisah dengan lingkungan yang sudah membuatnya sangat tenang.


Menginjakkan Kaki di Kota Dingin

Ini menjadi kali kedua bagi Ana persiapan pergi ke Kota dingin Malang. Dia pernah kesana pertama kali untuk mengikuti perlombaan di Universitas Negeri Malang. Dia mencoba mencari pengalaman dengan mengikuti lomba karya ilmiah dengan Sari dan Imel. Sore ini dia bersiap untuk ke Malang esok hari bersama dengan Arif dan Nanda. Mereka akan berkumpul di Rumah Arif. Rumah Arif kebetulan tidak jauh dari desa Ana. Mereka akan menumpang mobil Pak De Arif yang mau mengunjungi anaknya, atau kakak sepupu Arif yang bekerja disana.

Pak De Arif memang sengaja menawarkan kepada Arif, sekalian mengunjungi putri dan keluarga kecil anaknya. Bapak dan Ibu Ana sudah memberikan bekal sedikit sebagai pegangan selama pengurusan pendaftaran dan makan.

______

Pagi itu, Ana sudah bersiap di rumah Arif, desa Bulubrangsi. Ya desanya Arif tidak jauh dari rumahnya. Rumah Ana ada di desa Tenggulun. Jarak yang tidak jauh menjadikan Ana sangat cepat sampai, apalagi jalan pedesaan tidak menghidangkan kemacetan, akan tetapi keasrian dan kesejukan.

Rumah Arif yang terkesan sederhana dan tertata, terlihat ada bapak dan Ibunya di rumah menyambut Ana, tidak lama berselang Nanda datang. Dia dari Laren, diantar kakak sepupunya dengan sepedah motor Vario keluaran terbaru, masih terlihat jelas jika motor itu baru dari tampilan dan plat sepedah motor.

Bu Aina mengajak kami menunggu di dalam, menawarkan kami teh manis hangat.

“Ayo diminum, Cuma bisa menghidangkan ini mb, mas.”, Bu Aina menawarkan itu kepada mereka berdua. Arif memang belum terlihat karena membantu Pak Denya memasukkan barang yang akan dibawa untuk putrinya.

“nggeh bu.”, jawab Ana kemudian menyeruput teh yang disediakan.

“monggo mas Nanda.”, pinta Bu Aina.

“nggeh bu, matur suwun.”, jawab Nanda

“ya begini ini rumah Arif, Nanda ini sering main kesini. Ada anak perempuan juga kapan hari kesini namanya kalau nggak salah Imel sama Arfa.”, Bu Aina mencoba menjelaskan kepada Ana dan Nanda.

“ow nggeh bu, saya kenal mereka. Dengar-dengar memang mereka mau menawarkan kuliah di Solo untuk Arif.” Jawab Aina.

“iya mb Ana, tapi Arif masih kekeh ke Malang saja bersama kalian. Ya Ibu Cuma mendukung mana yang dipilih. Sejujurnya kalau di Malang juga Ibu lebih seneng karena dekat dengan keluarga, kalaupun Ibu kesana juga insyaAllah bisa.” Bu Aina memperlihatkan binar bahagia dengan pilihan Arif.

________

Jalan Tol panjang serasa menyapa mereka, langit hari itu terlihat sangat terang. Gunung-gunung di kanan dan kiri jalan terlihat sangat jelas bak memberikan semangat dan enaknya belajar di Kota ini.

“Rif, temannya suruh minum atau makan jajannya nak.”, seru Pak De Arif.

“nggeh De.”, jawab Arif.

“Nan, An makan saja ndak usah malu ya.”, seru Arif kepada Ana dan Nanda.

“Iya, terima kasih Rif.”, jawab Ana

“tenang saja rif, nanti kalau sudah lapar pasti kemakan.”, jawab Nanda.

______

Mereka telah sampai di Universitas Muhammadiyah Malang, rasa penasaran dan senang tidak dapat dibohongi meskipun mereka baru akan mendaftar disana.

“Nak, Mb Rahmah dihubungi ya. Katanya dijemput di parkiran.”, pinta Pak De Arif.

“nggeh Pak De, saya juga sudah mengabari mb Rahmah tadi sebelum masuk kampus.”

Terlihat di seberang ada perempuan usia kepala 3 berdiri dengan memakai gamis polos, kerudung menutup dada. Pakain rapi dan menjepitkan name tag yang menandakan jika karyawan di kampus ini.

Mereka bersalaman, Mb Rahmah sedikit basa-basi dengan mereka dan menyiapkan berkas.

“hari ini nanti adalah hari terakhir ya, jadi dua hari lagi ada tes. Bagaimana jika kalian menginap saja disini?”, tanya Mb Rahmah

Ana langsung bingung, dan jawaban pastinya akan meminta untuk ikut balik saja dengan Pak De Arif karena tidak ada persiapan. Nanda dan Arif sangat bersiap jika menetap disana. Ana terdiam tidak ada jawaban.

“Ana, bagaimana? Disini saja ya!”, pinta Mb Rahmah.

“Aku pulang saja mb, kalau disini saya harus kemana saya tidak punya siapa-siapa disini.”, jawab Ana

“tenang saja, nanti semuanya di rumah mb rahmah, Nanda dan Arif nanti di rumah sebelah. Ada rumah kecil samping musholla yang biasa digunakan untuk belajar mengaji atau mengajar anak-anak tetangga yang mau. Kamu nanti di lantai dua saja, suami mb Rahmah lagi studi S3 di Malaysia jadi tidak ada di rumah. Tenang saja ya, mb Rahmah malah seneng kalau kalian mau menerima tawaran ini. Jelas Mb Rahmah kepada mereka.

Mereka mengurus administrasi di Kantor Penerimaan Mahasiswa Baru UMM, kantor yang unik. Jika dilihat dari depan kampus maka atas lapangan untuk kegiatan atau upacara, ternyata jika kita berjalan disamping kemudian turun ada kantor dibawahnya.

Segala macam administrasi sudah mereka serahkan, mereka akan melaksanakan ujian penerimaan 2 hari lagi. Arif dan Nanda sholat dhuhur di Masjid, Ana berhalangan sehingga ikut Mb Rahmah. Kesempatan ini dia gunakan untuk bertanya kepada Mb Rahmah.

“mb Rahmah sudah sedikit tahu saya dari Arif?”, tanya Ana yang menjadikan mb Rahmah sedikit menoleh dengan senyum.

“Iya dek Ana, dia cerita masalah kalian. Saya usahakan tanya ke Fakultas Agama Islam, dan ternyata ada beasiswa bagi yang tidak mampu, yatim dan Piatu. Kemudian saya mencari informasi ke beberapa teman terkait tempat tinggal. Awalnya memang nihil, tapi saya tidak sengaja cerita dengan suami. Suami mengusulkan untuk memakai lantai 2 rumah kami untuk asrama anak-anak yang mau kebetulan ada keluarga suami yang sama dengan kamu. Dia perempuan jadi, nanti jika sudah keterima kamu bisa tinggal di rumah kami dengan Zahra. Dia sudah keterima di FAI juga jurusan Pendidikan Bahasa Arab, sama kan dengan kamu?” jelas dan tanya mb Rahmah yang memberikan kabar bahagia kepada Ana.

“Iya Mb, mohon doanya. Oh ya, jika nanti ikut mb rahmah apa tidak merepotkan?”, tanya Ana lagi.

“InsyaAllah tidak, kami sudah membicarakan ini sejak jauh hari. Tapi, ya kami nanti akan meminta tolong kalian untuk mengajar ngaji dan memberikan les tambahan tanpa di bayar di rumah mungil samping rumah kami. Bagaimana ? ya kami hanya menawarkan saja, jikalau mau, kalau tidak ya tidak apa-apa. Rencananya kami akan merekrut 2 mahasiswi perempuan lagi. Ada dua kamar di lantai dua.”, tanya dan jelas mb Rahmah yang membuat Ana semakin penasaran dengan UMM dan Malang.

“Aku sangat berterima kasih sekali mb Rahmah, Mohon doanya semoga keterima, tapi ya Aku tidak bisa membalas apa-apa.”, tambah Ana ke Mb Rahmah.

Angin sejuk Malang tidak dapat dibohongi, menjadikan Ana semkin bersemangat untuk belajar di Kampus ini, rasa kecewanya karena tidak bisa kuliah di Universitas Negeri sudah sirna jauh-jauh hari, yang difikirkan adalah bisa kuliah dimanapun asalkan ada keringanan biaya.


Bersambung..

 

Posting Komentar untuk "Puan Tak Malang (3)"