Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puan Tak Malang (2)

 

Gambar 1 : Puan Tak Malang (2)/silviavird.blogspot.com

Perpulangan

Ujian Nasional terlalui dengan lancar, segala hasil dipasrahkan kepada Allah SWT. Santri dan santriwati seangkatan dikumpulkan di Masjid Pesantren untuk mengikuti pengarahan selama libur di rumah untuk menanti pelepasan.


Kiai mereka memberikan pesan-pesan yang menentramkan, dan bakal dikangeni oleh siapapun nanti yang sudah tidak bisa hadir di Lingkungan ini 24 jam.


“saya berpesan agar kalian selalu menjunjung tinggi Islam sebagai agama kalian, jagalah Islam. Jika kalian sudah berada di dunia perkuliahan nanti maka tetaplah belajar dengan giat, jadilah manusia yang bermanfaat untuk sesama” pesan beliau dengan penuh haru. Beliau memang selalu bersedih jika pelepasan karena takut belum maksimal dalam mendidik.


Ada sepenggal doa yang dirapalkan oleh beliau setiap sholat dan mengakhiri ceramah, beliau berharap pesantren yang dipimpin menjadi pesantren yang baik, bermanfaat, dan maju. Santri dan santriwatinya jika masih disana ataupun sudah menjadi alumni bisa menjadi seorang yang shalih dan shalihah, Alim dan ‘Alimah, bermanfaat, sukses, dan maju untuk menjunjung Islam.


Rapalan doa-doa ini memang sangat ampuh, banyak santri dan santriwati yang sukses dalam segala perlombaan, alumninya juga banyak yang sukses belajar sampai keluar negeri, menjadi dokter, dosen, dan mempunyai jabatan-jabatan penting di pemerintahan atau organisasi masyarakat.


Perpulangan ini membuat Ana bersedih sekaligus bahagia. Dia bersedih karena akan berpisah dengan lingkungan yang sudah menempanya selama 6 Tahun. Senang dan sedih terlewati dengan begitu indah, dia sangat takut jika sudah menjadi alumni tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti di pesantren.


Salah satu kebahagiaannya adalah dia mengambil tawaran dari Pak Ahmad dan Bu Lisa, dia sudah mengurus administrasi yang dibutuhkan. Dia tidak sendirian, Arif juga mengambil kesempatan itu bersama Nanda. Dia berubah fikiran atas keputusannya.


Mereka berfoto bersama-sama seangkatan, bersalaman dengan guru-guru dan ustadz-ustadzah. Beberapa adik angkatan juga memberikan salam hangat perpisahan sebagai bentuk penghormatan mereka kepada kami.


Barang-barang di kamar mulai dikeluarkan, satu persatu dijemput oleh keluarganya. Ana dijanjikan akan dijemput oleh bapaknya. Dia tidak membawa banyak barang, karena akan kembali mengambil sedikit demi sedikit, karena dia akan pulang naik sepedah motor kepunyaan bapaknya. Beberapa temannya dijemput dengan mobil orang tuanya sehingga tidak menyulitkan untuk membotong semua barangnya.


Terdengar suara pengumuman yang memanggil namanya, menjadikannya segera ke sumber panggilan untuk mencari bapaknya.


“assalamu’alaikum bapak?”, sapa Ana dengan salam

“wa’alaikumussalam Ana, sudah siap pulang?”, jawab Bapak dengan senyum sumringah.


Ana pulang dengan membawa beberapa barangnya, dia juga sudah menyiapkan beberapa barang yang akan diambilnya esok hari. Jarak rumahnya memang tidak jauh dari pesantren. Ini menjadikannya tenang untuk mengambil sisa barang di lain hari.

 

Kelulusan yang sedikit Mengecewakan

Satu pekan lalu, Ana dan teman-teman mendapat informasi kelulusan dari sekolah. Mereka tidak diperkenankan ke Sekolah untuk mengambil informasi. Wali kelas memberikan informasi melalui telepon. Cara ini dipilih agar memudahkan anak-anak yang jauh dari sekolah atau pesantren. Pihak guru dan Asatidz juga takut apabila kegiatan pengumuman kelulusan disalah gunakan sama anak-anak.

            Telepon genggam Ana berbunyi, ya, dia sudah mempunyai telepon genggam sendiri pemberian keponakan ayahnya yang sudah bekerja sebagai hadiah telah menuntaskan pembelajaran di Pesantren. Keduanya memang sangat dekat meskipun tidak ada hubungan darah. Sebenarnya Alysa kakak sepupunya sudah merencanakan mencarikan beasiswa di tempat kerjanya, akan tetapi pihak Universitas tempat Alysa bekerja masih belum menjanjikan untuk memberikan penuh. Akhirnya Alysa menyerahkan kepada Ana untuk mencari yang terbaik menurutnya.

            “Halo, Assalamu;alaikum Ana?”, sapa Bu Lisa dari suara telepone genggamnya.

“Halo Bu, Wa’alaikumussalam”, jawab Ana dengan suara sumringah dan penuh semangat.

“bagaimana nih? Deg degan ya?” tanya Bu Lisa.

“Wah sangat deg degan Bu saya.”, jawab Ana

“oke, untuk keseluruhan nilaimu bagus Ana, jadi kamu lulus.”, penjelasan Bu Lisa yang terdengar sangat jelas tanpa ada gangguan jaringa.

“Alhamdulillah ya Bu.”, Jawab Ana dengan penuh syukur.

“oh ya, untuk kelanjutan kuliah di Yogya ketika pelepasan kita bicarakan lagi ya Ana.”, tambah Bu Lisa.

“kenapa tidak hari ini saja bu, saya semakin deg degan ini kalau sudah bahas masalah kuliah”, sahut Ana dengan rasa penasaran.

“karena, yang tahu info kelanjutan hanya Pak Ahmad. Sedangkan Pak Ahmad masih sibuk mengurusi urusan sekolah yang mau akreditasi. Jadi Ibu tidak mau mengganggu.” Bu Lisa menjelaskan kembali.

“oke Bu, InsyaAllah saya siap apapun yang terjadi.” Jawab Ana.

Tidak lama dari perbincangan dengan Bu Ana dari telpon, ada suara Whatapps masuk. Ana membacanya pelan-pelan,

“Assalamu’alaikum Ana, saya Arif teman seangkatan denganmu di Pesantren. Saya mendapat amanah dari Pak Ahmad untuk menyampaikan terkait kelanjutan pengajuan kita tempo hari di Universitas Yogyakarta.” Wa Arif terbaca, pesannya sangat jelas dan sopan. Mereka memang selama ini hanya sebatas tahu satu sama lain tapi tidak kenal, karena peraturan pesantren yang tidak boleh ada urusan antara santri dan santriwati selain urusan adik kakak. Urusan organisasi sekolah mereka juga terpisah.

            Ana sangat gugup mendapat pesan ini, ada sedikit rasa takut jika kelanjutannya ada masalah. Dia memang sudah sangat bahagia karena sudah diterima di Universitas tersebut dengan beasiswa dari pesantren di Yogyakarta.

Ana, mohon maaf saya menjelaskan lewat pesan saja ya. Pesan akan sangat panjang mungkin. Jadi, kemarin Pak Ahmad menelpon dan memberitakan terkait dengan kelanjutan pengajuan beasiswa kita termasuk Nanda. Jadi, beasiswa kita ditangguhkan sementara karena pihak pesantren mengurangi jatah beasiswa dari hasil rapat terakhir karena pihak pesantren habis mendapat musibah. Mereka masih sangat mempersilahkan kita tinggal di pesantren akan tetapi kita tidak mendapat uang jatah bulanan dan SPP akan dibayar 30% saja. Kita bertiga tidak termasuk 20 calon mahasantri dan santriwati yang daftar lebih dulu jadi mendapat imbas ini. Pak Ahmad menyerahkan keputusan ini kepada kita untuk kelanjutannya. Pak Ahmad tidak ingin mengabari jauh-jauh hari karena takut tidak ada persiapan untuk mengambil kesempatan yang lain.

Begitu singkat dari penjelasan Pak Ahmad, pesan beliau agar kita mencari opsi lain jika tidak siap dengan kelanjutan informasi tersebut.


Pesan ini menjadikannya bingung setelah mendapat kabar baik dari Bu Lisa. Apa yang harus dilakukan untuk kelanjutan kuliahnya.


Tanpa pikir panjang Ana menelpon Alysa, dia ingin berkeluh kesah dengan kakak sepupunya. Siapa tahu ada pertolongan yang tidak terduga dari kakanya itu.


Dia pencetlah nomor kakaknya, mudah sekali tersambung karena dia lagi beristirahat sejenak di sela-sela mengajarnya. Ana menceritkan semua masalahnya kepada kakaknya. Alysa memberikan motivasi untuk tenang dulu, dan menyuruhnya mencari opsi untuk ikut UTBK untuk mendaftar SNMPTN. Masalah biaya akan diusahakan dengan mencari informasi beasiswa.


Ana sedikit lega mendapat jawaban Alysa, akan tetapi rasa ragu dan tetap tidak tenang memang masih sangat menyelimutinya setiap saat sejak Arif menjelaskan info tadi. Ana bergegas mengambil wudhu dan sholat dhuhur untuk menenangkan diri dan meminta pertolongan Allah SWT.


Bapak dan Ibunya datang dari sawah, “Ana, bagaimana pengumuman kelulusanmu hari ini nak?”, tanya bapak dengan meminum segelas air.


“Alhamdulillah pak saya lulus.” Jawab Ana dengan rasa tenang.

“wah Alhamdulillah ya, lulus dan sudah diterima kuliah ya nak. Allah memang maha besar.”, sahut bapak.

“Alhamdulillah kalau begitu.”, tambah ibu yang berjalan dari dapur dengan membawa gorengan pisang.

Wajah Ana memang sangat terlihat tidak enak, dia tidak bisa menyembunyikan wajah sedihnya.

“kenapa bersedih nduk?, tanya ibu kepada Ana.

“ada sedikit masalah Bu, terkait dengan beasiswa di Pesantren Yogyakarta.”, jelas Ana sepintas yang menjadikan Bapak dan Ibunya bertambah kaget.

“Apa nduk?”, sahut bapaknya dengan suara terlihat penasaran.

“itu pak, bu. Terkait dengan beasiswa dari pesantren yang berubah. Pesantren tujuan kami habis mendapat musibah jadi 20 calon mahasantri atau santriwati tetap akan mendapat beasiswa penuh sedangkan 10 dibawahnya akan mendapat beasiswa tinggal dan SPP 30% saja, sedangkan biaya sehari-hari akan ditanggung sendiri.” Jelas Ana dengan sedikit pelan dan tegas.


Rahut wajah bapak dan Ibunya sedikit kecewa, tapi ini keputusan. Di sisi lain masih harus diyukuri jika pihak pondok masih mau membiayai 30% dan tinggal di Pesantren.


“kemudian rencanamu selanjutnya bagaimana nduk? Bapak dan Ibu kan juga tidak tahu masalah perkuliahan.”, tanya bapak kepada Ana dengan pelan.


“saya tadi sudah menelpon mb Alysa untuk menanyakan kira-kira baiknya bagaimana. Mb Alysa menyarankan untuk ikut UTBK saja sebagai persiapan SNMPTN, masalah beasiswa akan dicarikan informasi kembali.”, jelas Ana kepada bapak dan Ibunya.


Bapak dan Ibu memang tidak tahu masalah perkulaiahan, keduanya hanya lulusan SMP. Kedua orang tua mb Alysa sebenarnya sama, akan tetapi dia berkesempatan mendapat beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak kelulusannya, pihak pesantrennya dulu membebaskan untuk kembali atau tidak, akhirnya dia memilih tidak kembali secara fisik dan akan membantu dari jarak jauh. Dia mengambil tawaran menjadi pegawai administrasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


Ada sedikit motivasi dari Alysa, sehingga Ana masih bersikukuh untuk tidak menyerah. Ana tidak berkesempatan ikut seleksi beasiswa kementrian agama karena nilainya masih standar tidak masuk kuota yang diikutkan oleh sekolah.


Ana mencoba mencari informasi ke beberapa temannya yang lebih dulu masuk Universitas ternama di berbagai daerah. Dia masih saja tidak kunjung mendapat informasi kuliah yang agak memudahkan pembiayaan.


Bersambung...

 


Posting Komentar untuk "Puan Tak Malang (2)"